Hopelessness | Fiction story by Irfan A.S
ORIGINAL STORY BY ME.
Akan terdapat 8 BAB dan diupdate secara bertahap.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
HOPELESSNESS
Kesunyian ini membuat indera pendengaranku semakin tajam. Bahkan ketika kupejamkan mata ini, seringkali kudengar sebuah jeritan dari seorang pria yang terpojok akan habisnya harapan di masa depan. Ya, indera pendengaranku semakin tajam mendengar suara gemuruh yang beruasaha meruntuhkan dinding hati. Pertama kalinya diriku merasakan sebuah rasa sakit di seluruh tubuh hingga merasuki ke dalam tulang-belulang. Bahkan diriku tidak tahu benda apa yang telah menembus kulit dan dagingku hingga aku bisa merasakan sakit sehina ini.
BAB 1
MANUSIA KEJI
KAMIS, 4
Mei 2017.
Aku tidak tahu siapa yang memiliki bangunan tua ini. Kurasa
tempat ini pernah dijadikan sebuah restoran mewah untuk manusia-manusa kalangan
atas. Hal itu bisa kulihat dari semua harga hidangan yang tempat ini dulu
tawarkan di sebuah daftar menu yang sudah pudar dan lembab. Bau tempat ini pun amat
sangat anyir, melebihi bau anyir kedua tanganku.
Tampaknya aku sudah menghabiskan waktu lebih dari 8 jam beristirahat
di tempat ini. Diriku masih sangat lelah dan trauma setelah melewati rangkaian peristiwa yang tak pernah terjadi di hidupku sebelumnya. Lambung pun seakan menjerit meminta asupan energi untuk membuat tubuh
ini lepas dari letih. Kini apa yang harus
kulakukan? Mungkin sekarang lebih baik diriku keluar dari tempat ini untuk
menghirup udara segar. Walaupun udara segar di kota ini tidak akan membuat
pikiranku menjadi lebih baik.
Ternyata distrik di tengah kota yang siang harinya sesak
dipenuhi para manusia ini berbeda jauh keadaanya ketika gelap jatuh. Sangat
sunyi dan dingin. Aku tidak melihat aktivitas apapun yang dilakukan seseorang
di kawasan ini, hanya lampu-lampu jalan dengan cahaya yang minim yang menerangi
kawasan ini.
Persis di depan bangunan tua ini, kutemukan sebuah rongsokan
bak mandi yang tergenang air di dalamnya. Kelihatannya aku dapat membilas wajah
dan mencuci kedua tanganku menggunakan air kotor ini. Aku pikir ini buruk. Benar-benar keadaan yang buruk. Namun tidak
ada pilihan lagi, setidaknya aku harus bersyukur wajahku bisa terkena air,
karena aku merasa sangat tidak nyaman jika tubuhku tidak terkena air seharian,
itu membuat kulitku lengket.
“Jim, ini.. keadaan yang buruk. Aku ingin ayahku sembuh
dari penyakit itu. Tapi aku... benar-benar tidak sanggup untuk....”
Eh?
Aku yang sedang menikmati kotornya air yang membilas
wajahku ini kaget mendengar suara dari wanita yang baru saja lewat di hadapan
ku. Wanita itu berambut hitam pendek dan tengah berjalan sendirian di tengah malam ini.
Sebentar, apakah
dia sedang menangis?
Setelah kuperhatikan, ternyata dia sedang berbicara kepada
seseorang melalui ponselnya. Akupun berdiri dan memperhatikannya berjalaan ke
arah barat kawasan ini.
Tunggu! Mengapa
dia menggunakan seragam Smith Market? Apakah dia seorang pegawai?
Hati kecilku yang mungkin sudah tidak berguna lagi seakan berbicara
kepadaku, “Hampiri dia! Setidaknya kau bisa membantunya, bodoh!” Ya, aku setuju
dengan kata hatiku. Mungkin ini adalah hal terakhir yang bisa kulakukan. Aku
sangat ingin melakukan hal-hal yang terpuji, aku ingin menolong orang-orang,
dan aku tidak peduli bila diriku tidak tertolong lagi.
Tapi apa yang bisa
kulakukan?
Kuperhatikan kemana dia terus melangkah, hingga akhirnya
apa yang kuduga itu ternyata benar. Dia adalah seorang pegawai Smith Market,
sebuah mini market yang beroperasi 24
jam di kota ini. Dia masuk ke tempat itu yang berjarak sekitar 50 meter dari
tempatku memperhatikannya. Dari kejauhan aku melihat seorang pria dengan
seragam yang sama keluar dari sana. Apakah dia sedang bekerja di shift malam?
Aku akan
menghampirinya.
Sunyinya jalan ini membuat diriku tenang dan merasa aman
untuk berjalan. Hanya wanita itu seorang yang kulihat berjalan di kawasan
ini. Baiklah. Kulangkahkan kaki ini
menuju ke tempat wanita itu bekerja.
Disaat kakiku melangkah menuju Smith Market, aku melihat
seekor induk kucing berwarna putih yang sedang menyusui anak-anaknya di tepi
jalan. Lalu kucing itu menghampiriku dan mengeluarkan suara yang melas kepadaku. Tampaknya
induk kucing ini kelaparan sehingga dia menghampiriku berharap akan diberi makan. Hal ini membuat aku rindu dengan kucing-kucingku di
rumah.
Akupun menjatuhkan kedua lututku di atas aspal dan mulai
mengelus kepala induk kucing ini. Kucing ini sangat jinak dan memiliki bulu
yang lembut. Jika matahari telah terbit, kucing-kucing ini akan sangat
berbahaya karena banyaknya kendaraan yang akan berlalu-lalang di sekitar sini.
Baiklah, aku akan
kembali lagi untuk memberi makan kucing ini.
Langkahku akhirnya berhenti di depan pintu masuk Smith
Market. Mengapa jantungku berdetak lebih
kencang dari biasanya? Kubuka pintu
kaca toko ini dengan perlahan dan aku akhirnya melihat wanita itu sedang berada
di bagian kasir. Sendirian?
“Jim, aku meminta maaf jika aku merepotkanmu lagi. Tapi aku
sangat membutuhkannya...” seketika dia langsung menjauhkan ponsel dari telinganya ketika
dia melihatku masuk.
Menurutku dia
teramat kaget ketika melihatku sudah berada di dalam toko. Setelah itu, dia meletakkan ponselnya di meja kasir dan
dengan cepat mengusap air matanya dengan selembar tisu.
Dia menangis,
tidak salah lagi.
“Selamat.. datang. Silahkan.. berbelanja di Smith Market..”
Sambutnya dengan terbata-bata. Sepertinya dia juga malu ketika aku mengetahui
dia sedang menangis.
Aku langsung menuju ke etalase yang menyediakan makanan
hewan peliharaan. Aku mengambil dua kaleng makanan kucing merek Fishkask dan dengan segera diriku
berjalan menuju kasir yang dijaga wanita itu untuk membayar dua kaleng makanan kucing ini. Ketika aku berjalan
menuju ke arahnya, dia melihat ke arahku dan dia menutup hidung dengan tangan
kirinya. Dia melakukan itu bahkan ketika aku masih berjarak sekitar 3 meter di
depannya. Sebusuk.. itukah bau anyir di tubuhku? Ini sangat memalukan.
Kuletakan dua kaleng yang kugenggam di atas meja dan dia
mulai menghitungnya.
“Hanya ini?” tanya wanita itu sambil berusaha bernafas
melalui mulut.
“Iya... hanya.. hanya.. ini.” Mengapa aku grogi?
Kuperhatikan sebuah name
tag yang terpasang di seragamnya, wanita itu ternyata bernama.. Malia.
“Semua ini... empat puluh ribu.” Terangnya.
Lalu kukeluarkan selembar uang seratus ribu yang berada di
kantongku.
“Ini, ambil uang ini. Jika kau mau, ambil saja kembaliannya.”
Setelah aku menyuruhnya untuk mengambil uang kembalian, Malia
menunjukan raut yang aneh di wajahnya dan mengatakan,
“Apa maksudmu?! Dasar orang aneh!” Dia membentak dengan
nada yang tinggi dan membuatku kaget.
“Aku tidak ada
maksud apa-apa.” Jawabku dan ternyata itu semakin membuat raut wajahnya semakin kesal.
“Malia.. nama mu Malia kan? Tunggu sebentar, aku.. aku akan
kembali lagi. Aku.. ingin membantumu! Aku tahu kau sedang dalam masalah!” Kukatakan
padanya dengan rasa malu dan akupun bergegas keluar untuk mengunjungi kucing yang
kutemui tadi.
Eh, mengapa aku
mengatakan hal seperti itu kepadanya? Benar-benar menjijikan!
Setelah diriku berada di tepi jalan, aku hanya melihat
empat anak kucing yang sedang tertidur pulas di atas trotoar tanpa induknya. Kemana dia pergi? Aku tidak tahu dia kemana, lalu aku memutuskan
berjalan sedikit lebih jauh untuk mencari induk kucing yang kutemui tadi. Akhirnya,
aku menemukan induk kucing tersebut. Namun, kucing itu tergeletak sekitar sepuluh meter terpisah dari empat anaknya.
Kulihat induk kucing itu lebih dekat, ternyata... seseorang
baru saja melindasnya. Aku yakin kucing itu terlindas oleh pengendara mobil. Ini menyakitkan.
Kulihat dengan jelas tubuh dari kucing itu hancur dan sebagian isi perutnya keluar melalui mulut. Kepala kucing itupun hancur lebur dan mengeluarkan
banyak darah. Namun kedua bola matanya yang keluar dari kepala terlihat masih
utuh.
Ini membuatku
mual. Ini mengingatkanku akan sesuatu.
Aku sangat tidak tahan melihat kondisi induk kucing ini.
Sampai-sampai untuk memindahkan jasadnya pun aku tidak sanggup. “Mohon maaf.” Aku
putuskan untuk kembali ke Smith Market tempat wanita itu bekerja dan membawa
empat anak kucing yang telah ditinggal mati oleh induknya ini.
“Hey, Malia.. Apa.. apa kau bisa merawat kucing-kucing ini?
Induknya baru saja mati terlindas.” tanyaku sambil memegang anak-anak kucing
ini.
“HAH...?!” dia bergumam namun matanya tertuju ke anak-anak
kucing yang kupegang.
“Apa lagi yang kau inginkan?! Kau memang orang aneh berbau
busuk! Tolong pergi dari tempat ini dan jangan pernah kembali lagi! Dasar orang
aneh!”
Malia menjawab dengan sangat marah. Tapi aku sangat tahu,
ketika dia menjawab pertanyaanku dengan nada yang tinggi itu, matanya
memperhatikan empat anak kucing yang ku pegang, matanya menunjukan ketidak
tegaannya terhadap kucing-kucing ini.
“Apa kau tahu, Malia? Aku kesini tidak mempunyai maksud
yang jahat kepada dirimu. Aku kesini hanya ingin membantu mu.” Ungkapku.
“Membantu? Apakah kau pikir dengan memberikan anak-anak
kucing itu kepadaku dapat membantuku?!” tanya Malia dengan jengkel.
Aku letakan kucing-kucing itu di atas meja kasir dan
kuberitahu apa yang ingin kusampaikan kepadanya, “Aku mendengar pembicaraanmu
saat kau berbicara melalui ponselmu. Kau sangat ingin membantu ayahmu, kan? Kau
sekarang membutuhkan uang, bukannya seperti itu?” tanyaku.
“Aku hanya ingin memberikanmu bantuan.” Lalu kuambil
dompet dari kantong celanaku dan kukeluarkan semua uang yang berada di dompetku. Aku tidak peduli dengan diriku.
“Mungkin ini berjumlah sepuluh juta dan dapat membantu
ayahmu. Ini uang tabunganku, aku tidak mendapatkan uang ini dengan merampok.
Semoga ini dapat membantu ayahmu.” Terangku sambil meletakan uang itu di atas
meja, akupun mengkepalkan tanganku dan bersiap untuk pergi.
Malia terdiam dan tertunduk lesu. Lalu dia bertanya
dengan suara yang sangat pelan, “Siapa namamu? Mengapa kau melakukan hal ini
kepadaku?”
Apa harus kusebut namaku?
“Namaku Marco.” Jawabku sambil kutundukan kepalaku.
“Apa alasan kau melakukan hal ini?” tanya dia untuk yang
kedua kalinya.
Akupun merasakan
sesuatu yang sangat kutakuti dalam hati. Tapi setidaknya ini hal terpuji yang
bisa kulakukan setelah semua hal yang kulalui. Aku ingin menjadi orang yang
baik.
“Kau tahu, Malia? Aku mungkin.. manusia yang buruk. Tapi
aku bukanlah monster. Aku masih memiliki hati yang bisa kugunakan untuk berbagi
kepada orang lain.” Terangku sambil mengingat semua kesalahanku. Menyedihkan.
Malia yang mendengar perkataanku tetap terdunduk namun mengarahkan
pandangannya ke anak-anak kucing yang sedang tertidur pulas di meja kasir.
“Terimakasih..
Marco. Aku.. tidak munafik. Akan kuterima uang ini. Maaf telah membentakmu tadi.
Aku.. hanya sedang bingung.” balas Maria dengan raut yang berganti sedih di wajahnya.
“Aku percaya bahwa kau adalah orang yang buruk karena bau
badanmu yang busuk. Tapi aku juga percaya bahwa kau adalah orang yang memiliki
hati. Aku percaya padamu.” Malia mengungkapnya dengan menatapkan kedua matanya
ke araku.
Aku bisa melihat ketenangan di matanya. Mungkin sekarang
waktunya untukku pergi.
“Tolong pelihara kucing-kucing ini.” Akupun bergegas untuk
keluar dari toko ini.
“Mau pergi kemana kau sekarang? Tunggu, kau bisa mengambil
roti sebanyak yang kau inginkan sebelum kau pergi, Marco. Akan kuambilkan
untukmu.” tanya Malia dan dia hendak menuju keranjang roti yang tidak jauh dari
tempatnya.
“Terimakasih, Malia. Aku tidak lapar.”
Aku lapar.
“Aku akan pergi ke suatu tempat, yang dimana aku bisa makan
tanpa mengeluarkan sepeserpun uang untuk sisa hidupku.” Jelasku kepada Malia.
“Apa yang kau katakan? Aku tidak mengerti.” Tanya Malia
yang sedang memasuki roti-roti ke kantong plastik.
Hidup ini aneh.
Mengapa orang sepertiku bisa berada di posisi seperti ini? Aku sangat
menyedihkan. Tidak ada jalan keluar untukku. Aku juga sudah tidak bisa melihat
cerahnya masa depan yang ku impi-impikan.
“Selamat tinggal, Malia.”
Kulangkahkan kaki ini menuju pintu keluar dan bersiap untuk
membuka pintu. Namun, bisa kudengar dengan
jelas suara sirine mobil kepolisian yang sedang mengarah ketempat ini. Suara itu
membuat diriku terdiam.. dan tubuh ini terasa lemas seketika.
Akhirnya hidupku
akan segera berakhir. Dari semua yang telah kulakukan, aku sangat bersyukur bisa menolong empat anak kucing
dan membantu seseorang yang sedang dalam masalah. Aku sangat bersyukur.
“Apa yang terjadi, Marco? Mengapa ada banyak mobil polisi
yang berhenti di toko ini?” tanya Malia dengan sangat ketakutan.
Bisa kulihat banyak polisi telah mengepung toko ini. Satu
orang polisi berusaha mendekat masuk ke toko dan dari balik pintu kaca dia
menodongkan pistolnya ke arahku dan dengan keras dia berteriak,
“Angkat tanganmu! Dasar pembunuh bajingan!”
Diriku memang
seorang pembunuh. Aku tidak tahu mengapa aku bisa menjadi seperti ini. Aku
sangat bodoh. Aku ingin menangis.
Aku berlutut dan mengangkat kedua tanganku. Lalu polisi itu
membuka pintu dengan perlahan, lalu dengan keras menendang wajahku dengan
tulang keringnya, hingga aku bisa merasakan getaran yang kuat di dalam kepalaku
dan membuatku terjatuh.
Rasa ini.. teramat sakit.
“Dasar pemuda bangsat! Teganya kau membunuh pasangan
suami istri yang tidak berdosa!” Ujar polisi ini sambil menginjak-injakan kakinya di atas wajahku.
Apa yang kau
katakan? Tidak berdosa?
Ini membuatku pusing.
Dengan tubuh terlentang aku melihat ke arah langit-langit toko
ini dan hatiku bertanya, "Sehina inikah diriku? Sehingga kepala yang sering ibuku usap ini dapat diinjak-injak bagaikan serangga?". Kulihat sebuah cahaya lampu tampaknya mulai redup secara perlahan hingga
ruangan ini terlihat semakin gelap. Aku lelah. Aku hanya ingin mati.
“Setelah kau tega membunuh mereka, ternyata kau masih tega untuk
memperkosa anak perempuannya?! Dasar setan bangsat!” Dia menghujatku tanpa berhenti menginjak-injak kepalaku.
Apa.. yang dia maksud? Aku memang telah
membunuh suami istri itu. Tetapi, apa yang dia katakan soal diriku
memperkosa anak perempuannya? Aku tidak.. Aku benar-benar tidak ingat. Tidak,
aku memang tidak melakukannya!
Polisi ini dengan membabi buta tak ada henti-hentinya
menginjak wajahku hingga aku dapat melihat bercak darah yang menempel di
permukaan kulit sol sepatunya.
Ini sangat.. menyiksa. Aku tak tahan lagi. Seseorang tolong tembak kepalaku! Aku mohon!
Pada akhirnya, kini kejadian yang kualami di Smith Market telah berlalu. Cerita itu berakhir ketika mataku tidak dapat melihat adanya cahaya lagi di tempat itu dan membuat ku pingsan. Sampai aku tersadar, aku berada di sebuah ruangan sempit yang terasa sangat hampa, bahkan tempat ini tidak memiliki sumber cahaya
sama sekali. Akhirnya kini aku benar-benar sadar. Aku berada di sebuah bangunan yang
di mana para manusia-manusia keji dikurung dan saling membunuh. Aku
berada di sebuah bangunan hina yang disebut dengan nama... PENJARA. Tetapi, aku tidak tahu sedang berada di ruangan macam apa sekarang. Apakah.. ini.. sel isolasi?
Aku memang pantas
berada di sini. Aku adalah pembunuh... Persetan dengan diriku.
Tapi... aku
benar-benar tidak memperkosa anak dari pasangan suami istri itu.
Namun mengapa polisi yang menghajarku itu mengatakan hal seperti itu?
Apa maksudnya?
Namun mengapa polisi yang menghajarku itu mengatakan hal seperti itu?
Apa maksudnya?
Malia.. bagaimana kabarmu?
Comments
Post a Comment